Selasa, 28 Februari 2017

Jejak Perkopian Di Indonesia





Sebagai orang Indonesia, tentunya kita sudah tidak asing lagi donk dengan yang namanya ‘kopi’. Ada kopi instan (baik botol maupun sachet), kopi tubruk, permen kopi, berbagai makanan berperisa kopi dan masih banyak lagi.
http://bisnis.liputan6.com/read/2689818/10-negara-penghasil-kopi-terbesar-di-dunia-ri-termasuk
Kopi, berasal dari tanaman kopi. Tanaman ini berupa perdu dan bisa dipanen setelah mencapai umur 3-4 tahun. Tanaman ini dapat tumbuh dengan subur di daerah beriklim tropis seperti di Indonesia. Letak geografis yang strategis menyebabkan tanaman kopi dapat dibudidayakan secara luas di perkebunan Indonesia. Terdapat tiga jenis kopi yang memiliki nilai komersial dan banyak dikembangkan di Indonesia, yaitu  kopi Arabica, Robusta dan Luwak. Kopi merupakan salah satu subsektor perkebunan utama di Indonesia dan kini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat (4) terbesar di dunia, setelah Brazil, Vietnam dan Columbia. Akan tetapi, Tanaman kopi bukan berasal dari  Indonesia loh, melainkan dari benua Afrika. Keberadaan kopi di Tanah Air tidak terlepas dari campur tangan penjajah Belanda di Indonesia. 

Bencana alam, Perang Dunia II dan perjuangan kemerdekaan, juga mempunyai peranan penting bagi sejarah perkopian di Indonesia. Pada masa pemerintahan Belanda, tepatnya pada tahun 1696, tanaman kopi dibawa oleh Pasukan Komandan Belanda “Andria Van Ommen” dari Malabar-India ke pulau Jawa melewati Sri Lanka (Ceylon). Awalnya, kopi tersebut ditanam di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi dan Bogor. Tanaman kopi ini baru mendapat perhatian sepenuhnya pada tahun 1699, karena dapat berkembang dan berproduksi baik. Namun, pada tahun yang sama, tanaman kopi di Jakarta Timur terkena banjir, maka didatangkan kembali bibit baru yang dikembangkan pula di Sumatera, Bali, Sulawesi dan Timor. Bibit kopi Indonesia pada waktu itu merupakan jenis Arabica yang didatangkan dari Yaman. Tahun 1706 Kopi Jawa diteliti oleh Belanda di Amsterdam.

Setelah percobaan penanaman ini berhasil, biji-biji kopi itu dibagikan kepada para Bupati di Jawa Barat untuk ditanam di daerah masing-masing dan ternyata hasilnya pun baik. Pemerintah Belanda memaksa petani menyerahkan hasil panennya kepada V.O.C dengan harga jual yang sangat rendah. Maka, kopi yang semulanya hanya tanaman percobaan, akhirnya menjadi tanaman yang dipaksanakan kepada petani. Karena hasil tanaman kopi itu terus meningkat, maka perluasan tanaman terus ditingkatkan, terutama di pulau Jawa. Selanjutnya penanaman itu lebih dipaksakan dengan adanya sistem tanam paksa atau "Culturstelsel" (1830—1870). Maka, kopi pun menjadi komoditas dagang andalan V.O.C di Hindia Belanda. 

Ekspor kopi Indonesia pertama kami dilakukan pada tahun 1711 oleh V.O.C. Dalam kurun waktu 10 tahun, ekspor tersebut meningkat sampai 60 ton per tahun, sehingga menjadikan Hindia Belanda menjadi perkebunan kopi pertama di luar Arab dan Ethiopia. V.O.C pun memonopoli perdagangan kopi dari tahun 1725 – 1780 dan menjadikan Kopi Jawa sangat tekenal di Eropa pada saat itu.

Sejak adanya sistem tanam paksa, banyak pengusaha yang memperluas usahanya dalam skala perkebunan komersial pada tanah-tanah swasta, terutama di Jawa Tengah (Semarang, Sala dan Kedu) dan Jawa Timur (Besuki dan Malang), Jawa Barat, Sumatra (Lampung, Palembang, Sumatera Barat, dan Sumatera Timur), Sulawesi, Timor dan Flores. Setelah dikeluarkannya Undang-undang Agraria pada tahun 1870, maka perkebunan tersebut menjadi semakin luas lagi. Perusahaan perkebunan bisa memperluas usahanya pada tanah milik negara dalam jangka waktu yang sangat panjang. 

Kopi yang ditanam di Jawa Tengah umumnya adalah kopi Arabica, sedangkan di Jawa Timur umumnya kopi Robusta. Di daerah pegunungan dari Jember hingga Banyuwangi terdapat banyak perkebunan kopi Arabica dan Robusta. Kopi Robusta tumbuh di daerah rendah sedangkan kopi Arabica tumbuh di daerah tinggi.

Sejalan dengan hal tersebut, infrastruktur di Indonesia juga dikembangkan untuk mempermudah perdagangan kopi. Sebelum Perang Dunia II di Jawa Tengah terdapat jalur rel kereta api yang digunakan untuk mengangkut kopi, gula, merica, teh dan tembakau ke Semarang untuk kemudian diangkut dengan kapal laut.

Pada permulaan abad ke-20, perkebunan kopi di Indonesia mulai terserang hama, yang hampir memusnahkan seluruh tanaman kopi Arabica. Pemerintah kolonial Belanda sempat mencoba menggantinya dengan jenis Kopi yang lebih kuat terhadap serangan penyakit, yaitu kopi Liberika dan Ekselsa. Namun, varietas kopi ini tidak begitu lama populer dan terserang hama juga. Di sisi lain, perkebunan kopi di daerah Timor dan Flores yang pada saat itu berada di bawah pemerintahan bangsa Portugis, tidak terserang hama meskipun jenis kopi yang dibudidayakan juga kopi Arabica. Kopi Liberika masih dapat ditemui di pulau Jawa, walau jarang ditanam sebagai bahan produksi komersial. Biji kopi Liberika berukuran sedikit lebih besar dari biji kopi Arabica dan kopi Robusta. 

Adanya revolusi perkebunan menyebabkan para buruh menebang perkebunan kopi di Indonesia.  Setelah kemerdekaan RI, banyak perkebunan kopi yang ditinggalkan atau diambil alih oleh pemerintah yang baru. Saat ini, sekitar 92% produksi kopi Indonesia berada di tangan petani-petani kecil atau koperasi.

Ternyata, kopi yang sering kita teguk di saat pagi ataupun malam hari, memiliki sejarah yang cukup panjang, bahkan sebelum kita lahir loh. Setidaknya, kopi-kopi inilah yang pernah menjadi saksi bisu dari pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Setelah tahu sejarahnya, rasanya seperti ada kebanggaan tersendiri ya karena bisa menikmati kopi ini... :) (Vena)

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar