Sebagai
orang Indonesia, tentunya kita sudah tidak asing lagi donk dengan yang namanya ‘kopi’. Ada kopi instan (baik botol maupun
sachet), kopi tubruk, permen kopi,
berbagai makanan berperisa kopi dan masih banyak lagi.
Kopi,
berasal dari tanaman kopi. Tanaman ini berupa perdu dan bisa dipanen setelah
mencapai umur 3-4 tahun. Tanaman ini dapat tumbuh dengan subur di daerah
beriklim tropis seperti di Indonesia. Letak geografis yang strategis
menyebabkan tanaman kopi dapat dibudidayakan secara luas di perkebunan
Indonesia. Terdapat tiga jenis
kopi yang memiliki nilai komersial dan banyak dikembangkan di
Indonesia, yaitu kopi Arabica, Robusta
dan Luwak. Kopi merupakan salah satu subsektor perkebunan utama di Indonesia
dan kini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat (4) terbesar di dunia,
setelah Brazil, Vietnam dan Columbia. Akan tetapi, Tanaman kopi bukan berasal
dari Indonesia loh, melainkan dari benua Afrika. Keberadaan kopi di Tanah Air
tidak terlepas dari campur tangan penjajah Belanda di Indonesia.
Bencana
alam, Perang Dunia II dan perjuangan kemerdekaan, juga mempunyai peranan
penting bagi sejarah perkopian di Indonesia. Pada masa pemerintahan Belanda,
tepatnya pada tahun 1696, tanaman kopi dibawa oleh Pasukan Komandan Belanda “Andria Van Ommen” dari Malabar-India ke
pulau Jawa melewati Sri Lanka (Ceylon). Awalnya, kopi tersebut ditanam di
daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi dan Bogor. Tanaman kopi ini baru
mendapat perhatian sepenuhnya pada tahun 1699, karena dapat berkembang dan
berproduksi baik. Namun, pada tahun yang sama, tanaman kopi di Jakarta Timur
terkena banjir, maka didatangkan kembali bibit baru yang dikembangkan pula di
Sumatera, Bali, Sulawesi dan Timor. Bibit kopi Indonesia pada waktu itu merupakan
jenis Arabica yang didatangkan dari Yaman. Tahun 1706 Kopi Jawa diteliti oleh
Belanda di Amsterdam.
Setelah percobaan penanaman ini berhasil, biji-biji kopi itu dibagikan
kepada para Bupati di Jawa Barat untuk ditanam di daerah masing-masing dan
ternyata hasilnya pun baik. Pemerintah Belanda memaksa petani menyerahkan hasil
panennya kepada V.O.C dengan harga jual yang sangat rendah. Maka, kopi yang
semulanya hanya tanaman percobaan, akhirnya menjadi tanaman yang dipaksanakan
kepada petani. Karena hasil tanaman kopi itu terus meningkat, maka perluasan
tanaman terus ditingkatkan, terutama di pulau Jawa. Selanjutnya penanaman itu
lebih dipaksakan dengan adanya sistem tanam paksa atau "Culturstelsel" (1830—1870). Maka, kopi pun menjadi komoditas
dagang andalan V.O.C di Hindia Belanda.
Ekspor kopi
Indonesia pertama kami dilakukan pada tahun 1711 oleh V.O.C. Dalam kurun waktu
10 tahun, ekspor tersebut meningkat sampai 60 ton per tahun, sehingga
menjadikan Hindia Belanda menjadi perkebunan kopi pertama di luar Arab dan
Ethiopia. V.O.C pun memonopoli perdagangan kopi dari tahun 1725 – 1780 dan
menjadikan Kopi Jawa sangat tekenal di Eropa pada saat itu.
Sejak adanya sistem tanam paksa, banyak pengusaha yang memperluas
usahanya dalam skala perkebunan komersial pada tanah-tanah swasta, terutama di
Jawa Tengah (Semarang, Sala dan Kedu) dan Jawa Timur (Besuki dan Malang), Jawa Barat, Sumatra (Lampung, Palembang,
Sumatera Barat, dan Sumatera Timur), Sulawesi,
Timor dan Flores. Setelah dikeluarkannya Undang-undang Agraria pada
tahun 1870, maka perkebunan tersebut menjadi semakin luas lagi. Perusahaan
perkebunan bisa memperluas usahanya pada tanah milik negara dalam jangka waktu
yang sangat panjang.
Kopi yang ditanam di Jawa Tengah umumnya adalah kopi Arabica, sedangkan
di Jawa Timur umumnya kopi Robusta. Di daerah pegunungan dari Jember hingga
Banyuwangi terdapat banyak perkebunan kopi Arabica dan Robusta. Kopi Robusta
tumbuh di daerah rendah sedangkan kopi Arabica tumbuh di daerah tinggi.
Sejalan dengan hal tersebut, infrastruktur di Indonesia juga
dikembangkan untuk mempermudah perdagangan kopi. Sebelum Perang Dunia II di
Jawa Tengah terdapat jalur rel kereta api yang digunakan untuk mengangkut kopi,
gula, merica, teh dan tembakau ke Semarang untuk kemudian diangkut dengan kapal
laut.
Pada permulaan abad ke-20,
perkebunan kopi di Indonesia mulai terserang hama, yang hampir memusnahkan
seluruh tanaman kopi Arabica. Pemerintah kolonial Belanda sempat mencoba
menggantinya dengan jenis Kopi yang lebih kuat terhadap serangan penyakit, yaitu
kopi Liberika dan Ekselsa. Namun, varietas kopi ini tidak begitu lama populer
dan terserang hama juga. Di sisi lain, perkebunan kopi di daerah Timor dan
Flores yang pada saat itu berada di bawah pemerintahan bangsa Portugis, tidak
terserang hama meskipun jenis kopi yang dibudidayakan juga kopi Arabica. Kopi
Liberika masih dapat ditemui di pulau Jawa, walau jarang ditanam sebagai bahan
produksi komersial. Biji kopi Liberika berukuran sedikit lebih besar dari biji
kopi Arabica dan kopi Robusta.
Adanya revolusi perkebunan
menyebabkan para buruh menebang perkebunan kopi di Indonesia. Setelah kemerdekaan RI, banyak
perkebunan kopi yang ditinggalkan atau diambil alih oleh pemerintah yang baru.
Saat ini, sekitar 92% produksi kopi Indonesia berada di tangan petani-petani
kecil atau koperasi.
Ternyata, kopi yang sering kita teguk di saat pagi ataupun malam hari,
memiliki sejarah yang cukup panjang, bahkan sebelum kita lahir loh. Setidaknya, kopi-kopi inilah yang
pernah menjadi saksi bisu dari pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia.
Setelah tahu sejarahnya, rasanya seperti ada kebanggaan tersendiri ya karena
bisa menikmati kopi ini... :) (Vena)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar